Cerbung
KENANGAN TERAKHIR
TOKOH UTAMA: MIKAELA
(AKU)
ARDHANU
Hari itu nampak mendung, seolah merasakan
kepedihan yang aku rasa. Aku dan Ardhanu, sahabatku kita berada di Café yang
tak jauh dari kampus. “Jadi kamu beneran dapet beasiswa ke Jepang itu yaa?”
tanyaku padanya. “Iyaa, maaf aku baru sempat memberi tahu hal ini ke kamu.”
Kami duduk berhadapan tapi entah mengapa seperti
ada yang memberi batas diantara kami. Aku ingin mengatakan sesuatu kepada
Ardhanu, tapi entah mengapa lidahku begitu pelik. Aku dan Ardhanu bisa dibilang
sudah dekat dari semasa sekolah menengah atas dulu, terkadang saking dekatnya
orang-orang disekitar kami berpikiran bahwa kami sepasang kekasih.
Aku mencoba untuk memecahkan suasana canggung
ini, “Gak usah minta maaf, harusnya kita merayakan hal ini gak sih kamu hebat
banget bisa nerima beasiswa itu mana ke Jepang lagi,” ucapku dengan nada yang
ceria. Aku tidak mau karena perasaan sedihku karena ditinggalnya, membuat
Ardhanu terbebani. Aku melihat senyuman itu terpancar dari wajah tampan
Ardhanu, aku merasa lega untuk sekarang suasananya tidak secanggung itu.
Dan pada akhirnya kami mengobrol seperti biasa
tanpa ada rasa canggung, malah diiringi suara canda tawa. Setidaknya sebelum
aku benar-benar tidak bisa melihat tertawa itu lagi untuk beberapa waktu.
Hingga tidak terasa waktu sudah menunjukan hampir malam. Aku dan Ardhanu
memutuskan untuk pergi dari café itu dan berjalan menuju taman
“Danu gimana kalo sebelum kamu ke Jepang kita
lakuin sesuatu hal, setidaknya ada yang dikenang gitu,” ucapku pada Ardhanu.
“Astaga, aku cuman pergi sementara waktu loh, gak selamanya juga.”Jawaban
Ardhanu lantas membuatku sedikit kesal. “Ck, ayolahh sementara waktu itu juga
lama tau, dua tahun lohh.” Ardhanu hanya menghela nafas dan mengangguk tanda ia
setuju. Lantas aku meloncat kegirangan.”Okeeyy, nanti aku buat listnya yaa.”
Karena waktu sudah malam juga, kami memutuskan
untuk pulang. Aku diantar pulang oleh Ardhanu dengan sepeda motornya. Setelah
berpamitan, aku pun masuk ke dalam rumah dan mulai akan membuat list apa yang
akan aku dan Ardhanu lakukan sebelum ia berangkat ke Jepang.
1.
Main
sepeda bareng
2.
Habis
main sepeda makan bubur Mang Jamal
3.
Photoboot
di Mall
4.
Jalan
Jalan ke pasar malem
5.
Buat
manifasting (harapan kedepan)
Setelah membuat Wishlist kegiatan itu, nampaknya
untuk tidurpun terasa amat gelisah karna terlalu memikirkan betapa senangnya
kegiatan tersebut. Terlalu banyak bayangan kebahagiaan yang akan tercipta di
hari sebelum keberangkatan Ardhanu ke jepang untuk bersekolah tinggi itu.
Hingga ucapku sambil tersenyum melihat lampu atap yang gelap "Pasti
wishlist kegiatan terakhir itu akan menjadi kenangan termanis untuk dikenang di
pertemuan selanjutnya".
Disaat orang rumah sudah tertidur dengan pulas
dengan dengkuran yang keras. Aku segera bergegas untuk mempersiapkan tidurku
yang akan di balut dengan mimpi yang indah karena kemungkinan hari esok adalah
hari terakhir atau perjumpaan terakhir bersama Ardhanu sebelum ditinggal pergi
untuk mengemban ilmu yang setinggi tingginya di negeri sakura.
Keesokan harinya, pagi itu terasa berbeda. Ada
semangat yang membuncah di dadaku sekaligus kesedihan yang tak terelakkan. Aku
berdiri di depan cermin, mematut diri sambil membayangkan apa yang akan
kulakukan bersama Ardhanu hari ini. "Oke, kamu bisa!" gumamku,
berusaha menguatkan diri.
Setelah siap, aku pun mengirim pesan singkat
pada Ardhanu, “Pagi! Udah siap buat menjalankan wishlist kita?” tak lama
berselang, ponselku berdering, Ardhanu membalas, “Siap, Kakak Event Organizer!”
Aku tersenyum sendiri melihat balasannya.
Ardhanu menjemputku dengan senyum cerahnya yang
selalu membuatku merasa tenang. Kami pun memulai hari itu dengan kegiatan
pertama di wishlist, yaitu main sepeda keliling komplek. Kami tertawa, mengejar
satu sama lain, dan sesekali berhenti untuk mengambil foto. Rasanya seperti
kembali ke masa kecil, lepas tanpa beban.
Selanjutnya, kami berhenti di tempat bubur Mang
Jamal yang terkenal itu. Sambil menikmati bubur hangat, kami berbincang tentang
masa depan, harapan, dan impian. “Danu, kamu bakal kangen sama bubur Mang Jamal
ini gak sih?” tanyaku setengah bercanda. Dia tersenyum, lalu mengangguk. “Tentu
saja, tapi kangen sama kamu mungkin lebih besar,” jawabnya. Mendengar itu,
jantungku berdebar tak karuan, tapi aku hanya tertawa kecil untuk menutupi rasa
kikuk.
Waktu
memang berjalan, dan kehidupan membawa kita pada jalannya masing-masing, aku
dan kamu akhirnya harus berpisah. Menjalani hidup dengan cara yang berbeda.
Tetapi, aku tahu, setiap detik yang kita lewati bersama akan tetap ada dalam
ingatanku. Kini, aku hanya memiliki kenangan
tentangmu. Kenangan yang tak pernah pudar meskipun waktu terus berjalan. Dan
aku berjanji, di setiap langkah hidupku. aku akan selalu membawa kenangan itu.
“Setelah makan
bubur Mang Jamal kita mau kemana lagi” tanya ardhanu. Aku berpikir dengan
tangan yang diletakan di dagu “umm bagaimana kalo kita beli ice cream yang lagi
viral itu”. “yauda yu sekarang kita beli
ice cream” ucap danu sambil berdiri dan membayar bubur yang tadi mereka beli.
Di perjalanan
ingin membeli ice cream aku menikmati indahnya kota ini, kota dengan sejuta
kenangan bersama ardhanu. “kamu kenapa
diem terus gabiasanya gitu” ucap ardhanu dengan melihatku di kaca spion. “aku
gapapa cuman inget aja kalo di kota banyak kenangan kita” jawabku. Ardhanu
terkekeh mendengarnya “cuman dua tahun kita berpisah, setelah aku kembali kita
buat kenangan baru yang lebih banyak dari masa SMA”. “kamu janji ya jangan
pernah lupain aku” jawabku dengan muka khawatir takut jika ardhanu benar benar
melupakanku. “Iya aku gabakal lupain kamu” jawab ardhanu
Adranu
memarkirkan motornya, kami sudah sampai ditempat ice cream yang sedang viral
itu. “ayo” ajak ardhanu dan aku hanya mengannguk dengan semangat. “kamu mau
rasa apa biar aku pesenin” ucap aku. “biar aku aja yang pesenin kamu duduk aja
takut kamu pegel” jawab ardhanu. Ya ditempat ice cream ini sangat penuh
pengunjung jadi harus mengantri. “emang gapapa kalo kamu yang peseninnya”
jawabku. “gapapa kamu duduk aja, kamu mau rasa apa” jawab ardhanu. “aku mau
rasa vanilla” jawabku. “oke, kamu duduk disini tungguin aku jangan kemana mana”
jawab ardhanu dengan melangkah pergi. Aku hanya tersenyum memandang arhanu, aku
selalu kagum kepadanya yang selalu memberi perhatian kepadaku meskipun itu
hanya hal kecil.
Tanpa
aku sadari tiba-tiba ada yang menepuk pundakku. Aku terkejut, saat aku menengok
ternyata itu Abian teman satu fakultasku. “Ehh bian, kamu disini,” ucapku
kepada Abian. Bian tersenyum, “Hehe iyaa nih, penasaran aku sama yang lagi
viral ini,” jawab Abian. Dari situ Aku dan Abian fokus mengobrol hingga tanpa
aku sadari Ardhanu telah selesai membeli eskrim dan melihat ke arah aku dan
Abian denggan tatapan yang tidak bersahabat. “Mika ini es krimnya, ayo kita
pulang.” Aku sedikit terkejut dengan kehadiran Ardhanu secara tiba-tiba. “Ehh,
dan kenalin in-“.”Ayo pulang, aku abis ini ada urusan.”Tiba-tiba saja Ardhanu
memotong pembicaraanku. Aku pun mengiyakan Ardhanu lalu pulang dan tidak lupa
berpamitan dengan Abian.
Di
perjalanan menuju rumah entah mengapa suasana begitu dingin, bahkan lebih
dingin dari es krim yang baru saja aku habiskan. Sepertinya Ardhanu marah
kepadaku, tapi kenapa?. Tak lama kemudian kami sampai di rumah ku, aku turun
dari sepeda motor Ardhanu. Namun sebelum itu aku menahan Ardhanu yang tampaknya
akan segera menancap gas, “Kenapa lagi Mika?” dari nada suara Ardhanu nampak
begitu tidak bersahabat. “Kamu kenapa sih Dan, dari tadi kayak oranng bt gitu.
Kamu marah yaa sama aku?”tanyaku padannya. “Apa sih ngga.” Ohh ayo lah aku
berteman dengan Ardhanu bukan dalam waktu yang sebentar aku sudah tau bagaimana
jika ia marah, senang, atau pun sedih. Tiba-tiba aku teringat sesuatu apa
karena aku bertemu Abian. Apakah Ardhanu cemburu? “Apa jangan-jangan gara-gara
tadi yaa, aku ketemu Bian?’ ucapku pada Ardhanu. “Ohh jadi namanya Bian, apa
sih ngga juga.” Lihatlah telinga Ardhanu memerah bertanda ia berbohong.
“Hahahahaha Danu kamu cemburukah?” candaku padanya. “Apa sih ngga, lagian juga
ngapain cemburu orang kita cuman teman.” Ohh tidak, entah kenapa perkataan
Ardhanu sedikit membuatku tertampar. “hahaha, Iyaa juga yaa.” Tiba-Tiba suasana
menjadi canggung. “yasudah aku pulang dulu yaa Mika,” pamit Ardhany padaku.
“Iyaa hati-hati, jangan ngambek-ngambek lagi yaa.” Tanpa menjawabku Ardhanu pun
langsung menancap gas dan pergi untuk pulang .
Setelah Ardhanu
pergi, aku berdiri terpaku di halaman rumah, merasa bingung dengan perasaanku
sendiri. Ada sesuatu yang aneh, ada rasa kosong yang mengganjal. Entah kenapa,
meskipun aku tahu Ardhanu memang sering seperti itu—bisa jadi keras kepala dan
sulit mengungkapkan perasaan—aku tak bisa menahan rasa cemas yang tiba-tiba
muncul. Benarkah ia cemburu? Atau malah aku yang terlalu memikirkannya? Aku
menggelengkan kepala dan berusaha mengusir keraguan yang mulai muncul. Tapi
entah kenapa, sejak aku bertemu Abian, aku merasa hubungan aku dengan Ardhanu
sedikit berubah. Aku tahu kami berdua sangat dekat, tapi ada rasa yang lebih
dari sekedar persahabatan, dan itu membuatku bingung.
Malam itu, aku
mencoba untuk tidur, tapi pikiranku terus melayang ke Ardhanu. Apakah ia
benar-benar tidak cemburu? Atau ia hanya tidak mau mengakuinya? Aku tidak tahu
harus bagaimana. Aku sudah lama mengenalnya, tapi kali ini aku merasa seperti
ada tembok di antara kami. Tiba-tiba pesan masuk ke ponselku, suara notifikasi
mengalihkan perhatianku. Itu dari Ardhanu. Aku membuka pesan itu dengan hati
yang berdebar-debar. "Mika, maaf kalau tadi aku terlihat dingin. Aku cuma
nggak mau ganggu kamu sama Bian. Tapi kalau kamu bilang kita cuma teman, ya
udah nggak apa-apa."
Pesan itu
membuat hatiku sedikit lebih lega, tapi sekaligus lebih bingung. "Nggak
masalah, Dan. Aku juga cuma berteman kok sama Bian. Kamu sahabat aku, nggak ada
yang bisa ngubah itu," balasku dengan cepat. Setelah beberapa detik,
Ardhanu membalas lagi, "Iya, aku tahu. Terima kasih, Mika." Aku
tersenyum membaca pesan itu. Meskipun canggung, aku merasa sedikit lebih
tenang. Terkadang, persahabatan memang bisa rumit, tapi aku yakin kami bisa
melewati ini bersama.
Setelah
percakapan itu, malam terasa lebih sunyi dari biasanya. Mika meletakkan ponsel
di samping bantalnya, tapi pikirannya masih mengawang-awang. Kata-kata Ardhanu
terus terngiang, seolah ada makna tersembunyi di balik pesan singkatnya. Ia
tahu Ardhanu bukan tipe yang mudah mengungkapkan perasaan, apalagi tentang
hal-hal seperti yang disadari. Ada perasaan yang sulit dijelaskan antara mereka
berdua, sesuatu yang tak bisa terjalin hanya dengan kata "sahabat".
Mika bertanya-tanya apakah perasaannya pada Ardhanu lebih dari sekadar
persahabatan, tapi ia takut mengakuinya, bahkan pada dirinya sendiri.
Keesokan
harinya, Mika dan Ardhanu bertemu di kafe tempat mereka biasa menghabiskan
waktu bersama. Namun, ada yang berbeda. Mereka saling tersenyum, tapi tak ada
candaan seperti biasanya. Keheningan canggung yang menggantung di antara
mereka, membuat Mika merasa tidak nyaman. “Kamu baik-baik saja, kan?” tanya
Ardhanu memecah keheningan. Mika tersenyum kecil dan mengangguk. "Iya,
Dan. Aku cuma... ya, mungkin kita perlu bicara, tapi nggak usah sekarang,"
jawabnya. Ardhanu melihatnya dengan menyertakan penuh arti, dan Mika merasa
seolah-olah mereka berdua sedang berada di tepi perasaan yang tak terucap.
Namun
akhirnya ardhanu memberanikan diri untuk mengungkapkan yang ia rasa “Mika,”
panggil Ardhanu akhirnya, suaranya pelan namun penuh arti. “Aku… ada sesuatu
yang ingin aku katakan sejak lama.”
Mika
terdiam, menatap Ardhanu dengan sorot mata yang penuh harap dan sedikit
kebingungan. Jantungnya berdebar lebih cepat, seolah sudah menanti kata-kata
itu sejak lama. Ia juga ingin berbicara, ingin menyampaikan perasaannya, namun
ragu apakah ini saat yang tepat.
“Aku
juga, Ard…” jawab Mika pelan. Senyum kecil terulas di wajahnya, senyum yang
membuat Ardhanu semakin yakin.
Keduanya
saling menatap dalam diam, dan seolah-olah kafe itu hilang dari pandangan
mereka. Di ruangan yang penuh orang, hanya ada mereka berdua, terhubung oleh
perasaan yang sama namun tak pernah terucap. Ardhanu mengambil napas
dalam-dalam, berusaha mengumpulkan keberaniannya.
“Mika,
aku… aku sayang sama kamu,” ucap Ardhanu, akhirnya mengakui perasaannya yang
sudah ia simpan begitu lama. Suaranya bergetar, namun matanya menatap lurus ke
arah Mika, menunggu jawaban yang selama ini ia nanti.
Mika
terkejut, namun raut wajahnya langsung berubah menjadi senyum lembut. Matanya
berbinar, dan ia merasa beban yang selama ini ada di hatinya tiba-tiba
terangkat. Dengan perasaan lega yang sama, ia membalas, “Aku juga, Ard. Aku
sayang kamu… sejak lama.”
Keduanya
saling tersenyum, dan seolah-olah malam itu adalah awal dari sesuatu yang telah
lama mereka tunggu. Semua kekhawatiran, rasa takut, dan keraguan yang dulu
mereka rasakan hilang begitu saja. Dalam keheningan kafe yang nyaman itu,
mereka tahu bahwa akhirnya, perasaan mereka menemukan jalannya.
"eee
Mika...Ini sudah pukul 07.00 malam.gimana kalo kita wujudin whislist yang ke 4 yuk?"tiba tiba ardhanu
memecahkan keheningan itu,sepertinya agar suasana tidak terlalu gugup."iya
Ard,ayo kita pergi ke photoboot"ucapku lirih dengan perasaan yang masih
salah tingkah.
"Liat
ini,kamu lucu banget Mika,cantik" ucap Ardhanu setelah melihat hasil foto dengan berbagai pose yang telah kami
lakukan,"hahaha makasih Ard,kamu juga cantik" ucapku penuh tawa dan
beberapa menit kami melangsungkan candaan itu.
Sampai
akhirnya kami pun memutuskan untuk pulang.Aku dengan perasaan yang sangat
campur aduk,antara aku senang karena sudah saling menyatakan perasaan ,tapi
disisi lain aku juga sedih karena kami akan terhalang oleh jarak.
"Huft,rebahan
di kasur dengan perasaan yang seperti ini sangat aneh rasanya,malam yang sangat
berkesan,tapi....gimana kalo nanti gabisa kaya gini lagi?gimana kalo nanti Ardhanu udah berubah? gimana kalo dia malah
lupain aku?akh..pikiranku" aku seakan berdialog dengan bantal dan guling
hingga akhirnya akupun tertidur lelap di keheningan malam yang sangat berkesan
itu.
Keesokan
harinya kita pun bertemu rasa canggung masih melimutiku rasanya semua yang
kemarin itu mimpi, ardhanu pun menyapa “hai mika, kamu baik baik ajakan kok
muka kamu kaya gugup gitu” akupun menjawab “hah, aku baik baik ajak kok” akupun
memikirkan sesuatu sekarang kira kita kita mau pergi kemana dan melakukan apa,
akupun teringat sesuatu akan rencanaku tentang membuat manifasting “ ard…gimana
kalau kita sekarang buat manifasting ?” tanya aku kepada ardhanu “ iya yah,
kayaknya seru tuh ayo”
Kitapun
akhirnya menyiapkan peralatan untuk membuat manifasting, candaan kecil akhirnya
menyelimuti, kita saling bercanda tawa menulis impian masing masing dalam
manifasting itu tiba tiba akupun teringat sesuatu dalam hati kecilku “apa kita
akan terus bisa kayak gini ya, sedangkan ardhanu saja akan pergi ke Jepang, apa
kita akan bisa bercanda bersama sama?” Akupun terdiam kaku.
Saat
aku larut dalam pikiran itu, tiba-tiba Ardhanu menepuk bahuku, “Mika, kok kamu
bengong?” tanyanya sambil tertawa kecil. Aku tersentak, menyadari kalau sudah
terlalu jauh melamun. “Ah, nggak kok, cuma mikir,” jawabku sambil mencoba
tersenyum. Tapi entah kenapa, di dalam hatiku, bayangan kepergian Ardhanu tetap
saja muncul. Dia akan segera pergi jauh, dan aku tak tahu bagaimana semuanya
akan berjalan tanpa dia di sini.
Kami
kembali melanjutkan menulis mimpi-mimpi kami di atas kertas, berjanji pada diri
sendiri untuk mewujudkannya suatu hari nanti. Sesekali, Ardhanu menyelipkan
candaan yang membuatku tertawa, meskipun rasa khawatir masih menghantui. Saat
itu, aku sadar bahwa momen-momen seperti ini begitu berharga. “Ard, janji ya,
nanti kita bakal cerita-cerita lagi tentang semua mimpi ini, walaupun kamu udah
jauh di Jepang,” ucapku dengan nada bercanda, meski hatiku penuh harap. Ardhanu
tersenyum hangat, “Tentu, Mika. Jarak nggak bakal bikin kita lupa sama impian
kita kan?”
Saat malam semakin larut, kami berdua tenggelam dalam pembicaraan tentang
mimpi dan cita-cita yang ingin diraih. Ada rencana-rencana besar yang ingin
dicapai
Namun, dibalik semua keceriaan itu, ada kekhawatiran yang perlahan mendekat.
Aku tahu, seiring berjalannya waktu, jarak mungkin akan menciptakan keselarasan
di antara kami. Apakah komunikasi kami tetap seintens ini? Apakah cerita-cerita
kecil sehari-hari masih bisa dibagikan? Tapi aku menahan diri, memilih untuk
menikmati momen yang masih ada.
meskipun tak ada kata-kata
yang diucapkan, ada kedamaian dalam hatinya. Mereka tak lagi bisa kembali ke
masa lalu, namun kenangan tentang mereka akan tetap ada, seperti selembar daun
yang tertiup angin, terbang jauh namun tak pernah hilang. Kenangan itu akan tetap hidup, dalam ingatan,
dalam hati, dan dalam setiap langkah yang diambil aku ke depan. Karena,
meskipun pertemuan itu tak selalu berujung pada kebersamaan, kenangan akan
selalu menjadi bagian dari perjalanan hidup yang tak terlupakan.
luar biasa ...semangat berliterasi
BalasHapus